Minggu, 29 September 2013
Mengapa Selendang Mahir ?
Sejak tahun 1970an, WSB/WOSM mulai menata sistem pendidikan anggota dewasanya. Indonesia juga mengikuti.Ada NTC (National training Course) yang sekarang setara dengan KPD dan ITTC (lupa singkatannya) yang setara dengan KPL sekarang. Kakak2 kita yang mengikuti kursus sebelum tahun 1980 kemungkinan mengikuti NTC dan IITC. Mereka yang mengikuti pelatihan yang diselenggarakan World Bureau/WOSM sesuai tradisi menerima Manik Kayu 3 (NTC) dan Manik Kayu 4 (ITTC).
Setelah tahun 80, pelatihan diserahkan pada NSO masing2, tidak lagi oleh dunia. Indonesia menyebut pelatihannya KPD dan KPL. Tidak ada tanda khusus yang dipakai untuk lulusan KPD atau KPL di Indonesia, tapi Pelatih yang telah diangkat (dengan SHL) boleh memakai tanda jabatan pelatih yang dibedakan antara golongan dan KPD/KPLnya.
Sebelum tahun 1974, untuk menjadi Pelatih, seorang Pembina harus mengikuti Kursus Aplikasi Pelatih.
Kebijakan Kwarnas adalah semua Pelatih lulusan Kursus Aplikasi Pelatih diminta meng-upgrade diri dengan mengikuti KPD. Ada juga yang tidak ikut.
Yang sekarang berlaku, kita mengikuti sistem pendidikan pelatih pembina yang terdiri dari dua jenjang yaitu ALTC (Asisten Leader Trainer Course/KPD) dan LTC (Leader Trainer Course/KPL).
LTC kawasan Asia Pacific ada juga yang diselenggarakan di Indonesia dan sesuai tradisi lulusannya mendapat manik kayu/ wood badge , maka sekarang kita mulai lihat kembali kakak2 yang memakai manik kayu saat berseragam Pramuka.
Sistem kursus pembina di Indonesia saat ini juga mengikuti sistem yang berlaku di WOSM, kalau ada varian lokal seperti jenjang yang lebih banyak di malaysia, kerangka dasarnya tetap menggunakan sistem yang disepakati semua NSO yang bergabung di WOSM.
Sekarang bicara soal pelatihan pembina yang mulai dikuak oleh Kak Sonny Prima Sanjaya. Berdasar apa yang saya baca dan diberitahukan pada saya, sistem pelatihan ini diciptakan oleh Kak Mutahar, Andalan Nasional Urusan Latihan / Nayawan COR Pusat pertama. Kak Mutahar sendiri punya ijazah tiga kemahiran, yaitu sebagai mahir siaga (Akeela Leader), mahir penggalang (DCC -S) dan mahir penegak (DCC-R) yang ketika menempuhnya diakhiri dengan pemberian manik kayu (wood badge). Jadi mustahil, beliau, sebagai yang diungkap kak Idik Sulaiman, memandang atribut pembina yang diakui seluruh dunia sebagai simbol persaudaraan sebagai lambang penjajahan. Bukan karena alasan itu, beliau menciptakan atribut pembina mahir seperti yang dipakai sekarang.
Woodbadge itu merupakan manik hiasan kalung, yang menurut BP, diperoleh dari Raja Dinizulu. Ketika Woodbadge Course dibuka, beliau memberikan manik tersebut sebagai cinderamata / tanda bagi mereka yang telah lulus kursus tersebut. Dua buah bagi mereka yang telah mengikuti prakteknya.
Oleh WSB, tanda tersebut disertai setangan leher dan woogle (ring kacu) dijadikan tanda bagi semua yang telah menyelesaikan kursus, mengikuti tradisi yang diciptakan BP sendiri.
Bagi mereka yang kurang suka, fakta bahwa manik kayu diperoleh BP sebagi perwira Inggris yang dalam term politik sekarang adalah pihak kolonial, ditarik lebih jauh menyimbolkan penjajahan. Tentu saja BP hidup di zamannya, saat inggris menjajah Afrika. Namun kita tahu persis, keyakinan beliau setelah Perang Dunia I / Jambore Dunia I adalah mengembangkan persaudaraan dan perdamaian antar bangsa. Artinya sangat keliru bahwa BP mendukung penjajahan antar bangsa. Mengaitkan woodbadge/manik kayu dengan penjajahan merupakan tafsir salah yang harus dilawan.
Kalau kita mau memahami posisi unik Gerakan Pramuka sebagai organisasi kepanduan nasional yang diakui pemerintah (ingat peristiwa penganugerahan Panji Gerakan Pendidikan Kepanduan Nasional pada Gerakan Pramuka pada 14 Agustus 1961), kita harus tahu suasana zaman tahun 1950-1960an.
Semangat anti kolonialisme (KAA 1960), Gerakan Non Blok membuat muncul sentimen tertentu pada semua yang berbau barat. Semua yang bernafaskan sosialisme kelihatan lebih menjanjikan. Nasionalisme begitu kuat menggebu-gebu dan diteriakkan di seantero penjuru tanah air.
Kepanduan yang kebanyakan ada di kota-kota besar, hanya diikuti sebagian kecil anak dan remaja dari keluarga menengah yang berpendidikan (kebanyakan barat) memang kuat, karena akarnya sejak zaman sebelum kemerdekaan.
Namun dengan jumlah yang kurang dari setengah juta, mudah distigmatisasi sebagai produk Barat. Apalagi dari kaum kiri, yang tidak suka dengan kepanduan, yang titik berat didikannya adalah menjadikan orang-orang merdeka yang punya prinsip hidup yang dipegang teguh. Jelas bertentangan dengan ideologi kiri.
Bung Karno pun dibuat merasa Gerakan Kepanduan di Indonesia kurang gregetnya untuk mendukung semangat kebangsaan yang revolusioner yang beliau galakkan. BK adalah seorang yang sangat gandrung dengan persatuan. Ia melihat bahwa lemahnya peran Gerakan Kepanduan adalah karena terpecah dalam banyak organisasi (hampir 100 di awal tahun 60an). Kemudian kegiatannya terkesan kurang nyambung dengan semabngat pembangunan. Beda dengan gerakan pionir yang ada di negara2 blok timur. Kegiatannya dianggap sangat nyambung, termasuk belajar di pabrik dsb.nya. Karena beliau bukan pemimpin kepanduan maka beliau mungkin kurang menginsafi manfaat kegiatan outdoor karena memang efeknya tidak seketika tapi jangka panjang. BK ingin sesuatu yang nyata, sekarang, kelihatan.
Namun demikian, BK tetap memilih kepanduan, bukan gerakan pionir, namun beliau ingin kegiatannya diperbaharui.
MPRS yang saat itu kuat nuansa kiri-nya menyetujui pembentukan Gerakan Pramuka dan memerintahkan penghapusan sisa-sisa Baden Powelism dari kepanduan. (baden Powel-ism dianggap barat, barat kolonialis, demikian logika putusan politiknya)
Dalam suasana kejuangan seperti Gerakan Pramuka lahir. Ia selamat tetap menjadi Gerakan Kepanduan, tidak jadi Gerakan Pionir. Untuk bisa survive dengan situasi zamannya, maka Gerakan Pramuka harus mampu menyesuaikan diri.
Di sinilah jasa kak Mutahar dengan pemikiran jenialnya. ia mengadaptasikan pendidikan kepanduan sehingga bisa bernuansa sangat nasional. Pancasila dijadikan ruh yang mewarnai Gerakan Pramuka. Nilai-nilai kepanduan ternyata bisa disinergikan dan BK dengan antusias menerima Gerakan Pramuka sebagai organisasi yang sangat nasionalis dan sangat sesuai dengan visi KeIndonesiaan BK. Gerakan Pramuka oleh karenanya bisa bertahan tetap sebagai gerakan pendidikan kepanduan dengan tetap setia pada prinsip dasar dan metodik pendidikan yang digariskan oleh BP. Luar biasa bukan !
Dalam suasana itu, pakaian seragam kita dibuat, lengkap dengan pilihan warna, lalu atribut yang digunakan, yang kita terwariskan pada kita sekian tahun kemudian sudah hilang nilai-nilai filosofis yang mendasarinya.
Demikian pula kursus pembina yang dikembangkan yang dulu enam jenjang (dasar A, dasar B, mahir 1, mahir 2, mahir 3 dan mahir 4) diciptakan. Sesuai dengan suasana zaman, Kursus dasar A itu isinya indoktrinasi manipol usdek (mirip penataran P4 zaman orba) yang kemudian dihapus setelah tahun 1966.
Ketika pembina mahir selesai kursus, atibut apa yang mau diberikan ?
Kak Mutahar mencari dari sumber Indonesia. Selendang adalah benda yang punya kedudukan khusus dalam pengasuhan anak, yaitu untuk mengemong/menggendong. Maka atribut ini yang dipilih sebagai atribut yang sangat Indonesia. Warnanya warna wulung, yang dalam tradisi menggambarkan keluhungan. Motifnya menggambarkan kobaran api semangat, yang memancarkan lidah api yang menyala2. (hati2 melipat selendang mahir, jangan terbalik arah lidah apinya).
Menurut Kak Idik, tadinya akan dibuatkan toganya juga dan selendang itu disampirkan di atas toga, namun toganya tidak jadi dibuat. Pita mahir mulanya dibuat untuk pengikat selendang di bagian depan agar tak lepas. Kemudian digunakan sebagai tanda harian yang dipakai pembina mahir di seragamnya sehari-hari.
Selendang ini juga sebagai simbol bahwa para pembina adalah pengemban Ampera, Amanat Penderitaan Rakyat.
Demikian kakak-kakak. Saya kupas dari suasana yang melatarbelakangi atribut pembina yang khas Indonesia ini.
Kita berhutang banyak pada Kak Mutahar sebagai salah satu tokoh yang membidani dan mengasuh Gerakan kita di masa-masa awalnya.
Langganan:
Postingan (Atom)